Kamis, 03 Maret 2011

PERANAN IMF BAGI INDONESIA

Semakin berkembangnya sebuah pemikiran manusia maka akan semakin berkembang pula  sebuah peradaban yang berujung pada tertib atau tidaknya tatanan dunia.
Hal yang menyangkut high politic (pertahanan dan keamanan) sampai saat ini memang terus menjadi orientasi negara-negara yang memuliakan sebuah integritas dan kedaulatan. Dahulu sebuah negara yang hebat dapat doproyeksikan dengan lengkapnya kepemilikan persenjataan perang lengkap yang kapan saja dapat dipergunakan untuk menginvansi negara-negara kecil hingga terpuruk. Namun pada saat ini fenomena tersebut sedikit bergeser pada tempatnya, sebuah negara maju  pun dapat jatuh dengan sendirinya. Tanpa desakan atau sebuah resolusi Dewan Keamanan PBB sekalipun, sebuah negara maju dapat jatuh atau kolaps disebabkan goncangan yang besar dari sebuah perekonomian negara tersebut.
Permasalahan keamanan perbatasan, intervensi asing serta invansi langsung memang terus menjadi hal yang dikhawatirkan. Namun yang tidak kalah pentingnya adalah banyaknya negara-negara berkembang pada saat ini mengalami krisis ekonomi (economic crisis) yang seolah menjadi duri dalam daging akibat ketidakstabilan sistem ekonomi politik negara tersebut ataupun hasil dari sebuah konspirasi global dari sebuah produk negara-negara maju.
IMF singkatan dari International Monetary Fund adalah sebuah lembaga keuangan yang dibentuk sebagai mitra ekonomi internasional, yang berperan untuk dapat dapat meningkatkan kerja sama moneter internasional antara negara anggotanya yang kini berjumlah 181 negara. lembaga ini sendiri sekarang berpusat di Wasington DC, Amerika. 
IMF berdiri dari hasil pertemuan (konferensi) Bretton Words, sebuah kota kecil di wilayah New Hampshire, Amerika Serikat, Juli 1944. Lembaga ini menjadi pasangan IBRD (Internasional Bank for Reconstruction and Development) atau yang sering disebut sebagai bank dunia (World Bank).
Pada periode awal berdirinya, IMF dianggap sebagai “Dewa Penolong” yang datang mengulurkan tangan bagi negara-negara yang terinfeksi krisis ekonomi akibat Perang Dunia Ke II. Namun keberadaan IMF selanjutnya sering memaksa negara-negara berkembang mengalami susah tidur akibat terus berfikir untuk mencari jalan membayar hutang luar negeri. Sistem yang dikembangkan IMF pada akhir-akhir ini menuai kritikan pedas dari banyak pihak, hal ini disebabkan negara-negara berkembang anggota IMF merasa pinjaman yang disalurkan IMF berujung pada krisis perlahan akibat dari keharusan pembayaran hutang yang memang di buat sebagai  indikasi dependensia.
Disamping itu, permasalahan lain yang menjadi kritikan adalah perihal tentang kebijakan monitoring IMF yang dinilai hanya berujung pada keuntungan sepihak. Dalam sebuah artikel Tempo interaktif kritik-kritik itu dianggap tidak berlebihan kalau kita merujuk pada akibat yang terjadi sebagai dampak “kebijakan” IMF. Di Thailand misalnya, seperti ditulis Kompas edisi 10 Oktober 1997 lalu, ratusan ribu pekerja kehilangan pekerjaan sampai saat ini. Hal itu terjadi sebagai dampak langsung dari syarat yang diberlakukan IMF terhadap Pemerintah Thailand dalam menyelesaikan persoalan yang menimpa sejumlah lembaga keuangan di sana. Lebih dari 150 lembaga keuangan bermasalah, harus ditutup. Hal tersebut kemudian ditambah lagi dengan meminta pemerintah Thailand mengurangi anggarannya. Saran IMF ini menyebabkan macetnya sejumlah proyek. Pemerintah pun terpaksa mengurangi sejumlah belanja lainnya termasuk menaikkan gaji pegawai negeri. 
Dalam hal politis, IMF pernah juga dikecam sebagai alat kapitalis untuk meyakinkan bahwa kekuatan ekonomi tetap pada negara-negara industri maju. Pengecamnya ini kerap menyinggung-nyinggung soal penolakan IMF untuk membantu Pemerintahan Sosialis Allende di Chili. Tapi kemudian, IMF dengan cepat membantu penggantinya yang pro-barat yakni diktator Penochet. Mereka juga mencatat bahwa IMF bersikap murah hati terhadap rejim apartheid tahun 1970-an dan 80-an.
Dalam hal lain pun, sistem penanganan IMF dianggap terlalu general, diagnosa IMF terhadap “penyakit” negara-negara relatif terus sama. Dalam sebuah pidato disela-sela Pertemuan G7 Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono menyiratkan bahwa tidak akan meminta bantuan lagi kepada Dana Moneter Internasional (IMF) jika dampak keuangan krisis suatu saat akan semakin membebani perekonomian nasional. Kemudian beliau menambahkan IMF harus menerapkan dan melaksanakan kebijakannya dengan “country by country”, dimana setiap Negara memerlukan penanganan khusus untuk keluar dari krisis yang dihadapinya dimana dapat dikatakan memerlukan bantuan dengan persyaratan tertentu dengan juga kondisi-kondisi tertentu agar kebijakan moneter tersebut dapat berhasil dan suskses sesuai yang diharapkan oleh semua pihak. Karena permasalahn ekonomi dari suatu Negara tidak boleh disamaratakan masalahnya dan begitu juga cara penyelesaian masalahnya. Di Indonesia sendiri IMF bukanlah sekumpulan malaikat yang dengan sekali sentuh saja akan menyembuhkan “penyakit” ekonomi RI. Kasus Afrika Selatan dan Thailand malah menunjukkan bahwa solusi IMF banyak mendatangkan masalah baru. Misalnya, dicabutnya subsidi BBM justru membuat rakyat banyak kelabakan menanggung kenaikan harga itu. Dan kebijakan BBM di Indosnesia pun mendesak masyarakat lemah hingga mempengaruhi politik dan keamanan dalam negeri.
Dari kesimpulan diatas, mengutip tulisan Miranda S Goeltom, Deputi Gubernur Bank Indonesia  ada dua opsi yang harus dipilih khususnya oleh Indonesia dengan resiko masing-masing apakah  pertama, mengakhiri program dengan tetap dimonitoring IMF (post monitoring program) namun dalam hal ini tidak ada Letter of Intent (LoI) IMF. Kedua, mengakhiri program tanpa program monitoring. Dalam hal ini cadangan devisa yang terpakai akan sangat besar berhubung seluruh pinjaman IMF yang outstanding dikurangi kuota yang merupakan hak kita, harus dibayar kembali seketika pada saat pengakhiran program. Namun menurutnya lagi kata kunci terhadap kedua opsi itu tak lain rasa memiliki (ownership). Upaya menelurkan program ekonomi sendiri dan melaksanakannya dengan disiplin merupakan prioritas. Intinya, hanya kita sendirilah yang pada akhirnya harus menyelesaikan agenda pemulihan ekonomi Indonesia.
Jika hal ini dapat diwujudkan, kredibilitas pemerintah yang terbangun kokoh-dengan dukungan wakil rakyat-diperkirakan dapat menjalankan fungsi rujukan baru bagi pasar. Apabila tidak, taruhannya adalah kemerosotan kepercayaan mereka terhadap perekonomian kita Menjadi relevan untuk menelurkan program ekonomi nasional yang dapat mengakomodasi kebutuhan fundamental ekonomi makro dengan kepentingan untuk menarik kepercayaan dan minat masyarakat internasional.
Mungkin sekarang saatnya negara-negara berkembang untuk bersama-sama berpikir ulang, apakah memang IMF dapat menjadi solusi atau tidak? Wallahu’alam bisshowab